Oleh Desi Soneta
Mengingat mutu pendidikan Indonesia pada saat ini sangat
terpuruk, seperti yang dikatakan oleh salah seorang Mentri Pendidikan ”Pendidikan Indonesia terburuk saat ini di
kawasana Asia, memperoleh peringkat 12 di antara 12 negara Asia” Hal yang lebih
mengerikan lagi, pada tahun 2006, Indonesia satu level dengan Singapur, baik
bidang ekonomi maupun bidang pendidikan. Tapi sekarang Singapur sudah berada
pada deretan negara maju bahkan mampu meraih pendidikan terbaik setelah Finlandia dan Korea Selatan. Kenapa Indonesia masih berada pada posisi
negara berkembang dan tetap memiliki mutu
pendidikan yang rendah? Tentu saja problem ini memiliki akar serius. Di antara
akar permasalahan yang serius itu adalah seperti yang dikatakan oleh beberapa ahli pendidikan, ”Pendidikan
Indonesia hanya tinggal pada teori dan sedikit implikasi. Tuntutan kognitif
terlalu tinggi, sementara ranah Afektif hanya beberapa persen saja. Sehingga
pendidikan Indonesia sedikit sekali mampu melahirkan generasi yang bermental di
lapangan.”
Menjawab akar permasalahan
ini, tentu saja kita setuju dengan pendapat Ipho Santoso ”Seribu tindakan satu
ide jauh lebih baik dari pada satu
tindakan seribu ide. Hal ini telah dibuktikan oleh beberapa negara maju
seperti Jepang, lulusan mahasiswa perguruan tingginya dituntut menciptakan
lapangan pekerjaan, tidak hanya symbol berupa Ijazah. Mereka fokus memberikan pengembangan beberapa subjek material saja
tapi profesional. sementara Indonesia dari kecil generasinya sudah ditanamkan konsep
bagaimana mendapatkan lapangan pekerjaan yang baik, tidak menciptakan lapangan
pekerjaan. Menyediakan subjek meterial yang banyak melalui jenjang pendidikan. Selalu memaksakan bagaimana menyimpan di memory generasinya. Seperti implikasi kurikulum
pendidikan Indonesia terkenal dengan metode hafalan, tidak analisya dan
tindakan.
Untuk keluar dari
permasalahan ini tidak ada cara lain selain merubah beberapa teori yang ada
menjadi beberapa tindakan. Bukan salah generasi mewarisi sistem pemerintahan
yang keliru ini, tapi salah generasi
kalau hanya berdiam diri tanpa mau menjadi Agent Of change. Teringat seperti
yang dikatakan oleh Maxwel ”Masing-masing pribadi individu memiliki satu
potensi yang tidak dimiliki oleh sepuluh ribu inividu lainnya.” Hari ini, tanggal 6 januari
2013, saya telah membuktikan sendiri potensi murni generasi Indonesia tepatnya
di kota Padang, jalan Gajah Mada di gedung PII. Sebuah acara yang
diselenggarakan oleh FLP Sumbar diberi nama Sekmen (sekolah menulis), ternyata
benar-benar menciptakan sebuah keberanian mental di lapangan dan kebiasaan berupa proses tindakan yang melahirkan hasil.
Pagi ini, terik matahari masih membakar semangat kami,
kagiatan Sekmen hari ini didampingi oleh Ketua Flp Sumbar Kak Siska Oktavia dan
Sekretaris FLP Sumbar Kak Alizar Tanjung. Yang dimoderatori oleh panitia bernama Khori. Setelah
berbagi pangalaman dan mencoba mengungkap apa permasalahan generasi Indonesia selama
ini, ternyata tetap permasalahannya adalah minimnya mental dalam menghadapi
tantangan dan kurangnya tindakan, khususnya dalam berkarya atau menjadi
generasi produktif. Seperti permasalahan yang diuraikan oleh Indah permata Sari
dan Albest Rival “Semakin tidak percaya diri dalam menulis, setelah membaca
karya-karya hebat yang dipublikasikan” Kak Siska memberi solusi ”Sebelum
tulisan kita tuntas jangan baca karya mereka!” Kemudian Kak Dini Widya Herlinda
dan Kak Riza Alen juga menyatakan, “senang
berkarya tapi masih terhalang oleh waktu, tuntutan pekerjaan.” Intinya masih
belum berani menyisihkan waktu khusus
untuk berkarya.
Setelah semua permasalahan terungkap, Kak Siska Sengaja memberi
tantangan dengan mengurai tiga kata: Kotak, Hitam, dan Jingga. Lalu memberi
waktu 10 menit untuk membuat apa saja yang kami bisa. Ternyata dengan waktu
yang terbatas itu, kami anggota Sekmen yang berjumlah kurang lebih dari sepuluh
orang, mampu membuat karya-karya murni.
Meski bersifat mentah, tapi saya yakin karya ini lahir dari hebatnya sebuah
proses tindakan, tidak hanya teori atau konsep. menurut saya ini sebuah
prestasi besar. Selama 10 menit kami anggota sekmen yang masih dalam tahap
proses belajar, masing-masingnya mampu melahirkan sebuah tulisan. Dengan jumlah
tiga kata selama tiga menit, Kak Riza Alen mampu merangkai novel dengan jumlah
100 kata. Albest Rival dan Riri mampu mengurainya menjadi sebuah penggalan
cerpen yang berjudul Pudarnya pesona jingga dengan jumlah 125 kata. Hasneli,
Indah Permata Sari, dan Kak Dini Widya Herlinda mampu mengurai tiga kata
menjadi sebuah puisi. Jadi, kesimpulannya, generasi Indonesia sebenarnya mampu
menciptakan apa saja, hanya butuh pengelolaan emosional agar melahirkan sebuah
tindakan, untuk memperoleh hasil.
Siang siap membakar kembali. Sebelum membedah karya yang
ada seperti pertemuan biasanya, bensin itu dialirkan lagi oleh Kak Alizar Tanjung,
” Katanya mau jadi penulis! Masa
karyanya cuman satu dalam seminggu? Ingin sukses itu jangan melangkah sejajar
dengan orang-orang sekitar, harus melangkah lebih depan lagi. Jangan berjalan
lamban seperti siput!” Cambuk ini mengingatkan saya pada nasehat yang disampaikan
oleh Ipho Santoso lagi ”Beda orang di atas rata-rata itu, mereka selalu
melakukan apa yang tidak dilakukan oleh orang lain.” Mario Teguh juga
menambahkan”Beda calon pemenang dengan pecundang itu hanya sedikit. Calon pemenang
selalu melihat kesempatan dalam setiap permasalahan yang ada, sementara
pecundang selalu melihat masalah dalam setiap kesempatan. Calon sukses selalu
kelebihan ide, calon pecundang selalu kelebihan alasan.” Jadi, intinya adalah
sukses itu ditentukan oleh proses tindakan. Dan berani berkarya tentu saja
melahirkan kembali generasi-g,enerasi cerdas
dan produktif.
0 komentar:
Posting Komentar