Oleh
Salmaini
Minggu, 6 Januari 2012 sekolah
menulis Forum Lingkar Pena Sumatera Barat kehadiran pemateri yang sangat luar
biasa. Ketua umum Forum Lingkar Pena Sumatera Barat, Siska Oktavia. Kak Siska
didampingi suaminya, Fatri Ariko dan buah hatinya. Pertemuan dibukanya dengan
perkenalan diri, baik dari dirinya pribadi maupun peserta sekmen.
“Aku mulai menekuni dan mengikuti
perlombaan pertama dunia kepenulisan semenjak awal tahun 2007. Perlombaan
tersebut diadakan oleh Pusat Bahasa Pekanbaru. Cerpen yang kukirimkan meraih
juara II. Prestasi pertama yang kuraih tersebut menjadi pemicu utamaku dalam
menulis.” Itulah sederetan kalimat yang diungkapkan kak Siska sebagai pembuka
diskusi pada hari itu.
Kak Siska menanyakan kepada semua
peserta sekmen hal-hal yang menjadi kendala dalam menulis. Dimulai dari pengakuan
bang Ibest Rival Lijulwa. “Sejak dulu, setiap karya yang aku hasilkan selalu
aku bandingkan dengan karya orang lain. Hasilnya tentu tidak sama. Kegiatan itu selalu aku lakukan. Akhirnya, aku
putus asa dengan karya-karyaku. Sampai puncak keputusasaanku, aku membakar
semua karya yang telah aku hasilkan. Tapi setelah aku bergabung dengan sekmen FLP
Sumbar semangat juang menulis muncul kembali.” Pengakuan bang Rival membuat
peserta sekmen mengangguk dalam diam.
“Awal tertarik pada dunia
kepenulisan, Indah tidak berniat untuk menghasilkan karya yang dapat dikirim ke
media massa.” Indah Permata Sari memulai pengakuannya dengan kalimat lugas.
“Waktu SMA Indah hanya menulis diary
untuk mengeluarkan segala unek-unek yang ada. Lambat laun kebiasaan itu membawa
Indah pada dunia kepenulisan. Indah coba untuk menekuninya. Pertama
melakukannya memang terasa sulit. Sampai-sampai terbawa mimpi karena belum bisa
menuliskan ide yang Indah punya.” Pengakuan Indah membuat kak Siska dan peserta
sekmen menyunggingkan senyum.
“Kendala yang kurasakan selama
menekuni dunia kepenulisan adalah selalu merasa minder dengan karya sendiri dan
menganggap belum sebanding dengan karya penulis propesional.” Kak Riri Diana
mengungkapkan kendalanya dalam kalimat yang singkat, tepat, dan padat.
“Kebiasaan membaca sejak kecil
membuatku tertarik akan dunia kepenulisan. Sejak tahun 2007 aku sudah menekuni
dunia kepenulisan. Aku menulis sebuah novel yang sampai sekarang tinggal
pengeditan. Satu hal yang selalu aku lakukan yaitu tidak membaca karya satu
pengarang saja karena akan membuat kita mengikuti gaya kepenulisannya. Sekarang
kegiatan membaca dan menulis itu berkurang karena kesibukan di kantor. Akibatnya
aku sering curi-curi waktu di kantor. Harusnya waktu sehari semalam itu 48 jam
bukan 24 jam. Hehehe….” Kak Riza Alen mengakhiri pengakuannya dengan tawa
memprihatinkan.
“Kendalaku dalam menulis hampir sama
dengan yang disampaikan Rival dan Riri. Aku sering membanding-bandingkan
karyaku dengan orang lain. Hal yang samapun kualami. Aku down karena karya yang aku hasilkan tidak bagus. Sekarang kegiatan
menulisku terganggu karena kesibukan kerja. Setiap malam harus menyiapkan bahan
presentasi. Tapi kurasa jika kupaksakan, aku dapat menulis dalam waktu yang
sedikit itu. The power of kepepet.” Kak
Dini Widya Herlinda menutup pengakuannya dengan sebuah kalimat campuran bahasa
Inggris dan Minang.
“Aku tertarik dunia kepenulisan
karena mamaku seorang penulis. Mama suka menulis puisi dan akupun tertarik
melakukannya. Kendalaku sejauh ini adalah selalu membandingkan karyaku dengan
penulis propesional. Hasilnya seperti yang diungkapkan Rival, Riri, dan Dini.
Kesibukanku dalam dunia perkuliahan membuat waktuku untuk menulis sangat sedikit.
Akibatnya ide yang banyak belum sempat kutuangkan dalam bentuk tulisan. Hanya
kusimpan dalam memory saja.” Qory
mengungkapkan kendalanya dengan suara yang tegas dan keras.
“Aku tertarik dunia kepenulisan
sejak SMA. Waktu itu aku lebih sering menulis artikel-artikel ilmiah karena
jurusan yang aku tekuni. Aku pernah menulis teenliet
tapi tak pernah aku publikasikan. Karena aku menganggap tulisan itu tak layak
dipublish. Semenjak kehilangan leptop
kegiatan menulisku agak tersendat. Aku terpaksa menulis ide yang aku punya
dalam buku. Untuk saat ini aku lebih memfokuskan kegiatan menulis untuk sarana
dakwah. Menyebarkan nilai-nilai Islam dalam setiap untaian kata-kata yanga aku
tulis.” Usi mengungkapkan kendalanya dengan energik.
“Sebenarnya aku tak bisa menulis.
Aku hanya bisa menulis diary, untuk
saat ini aku mulai merangkak menekuni dunia kepenulisan.” Pengakuan terakhir
Salmaini membuat kak Siska manggut-manggut.
Setelah mendengarkan semua kendala
yang dialami anggota sekmen, kak Siska mulai memberi solusi kepada
masing-masing anggota sekmen.
“Untuk Rival, Riri, dan Qory serta
untuk kita semua yang mungkin akan memiliki kendala sama. Membandingkan karya
sendiri dan orang lain memang diperlukan agar dapat mengetahui sejauh mana
kemampuan kita dalam menulis.” Penjelasan pertama kak Siska membuat anggota
sekmen mengangguk-nganggukkan kepala. Selain itu kak Nelly pun bersikap aktif.
Ia menambahkan solusi: “Agar karya kita dihargai orang lain maka mulailah menghargai
karya sendiri.”
Di tengah-tengah diskusi kak Siska
meminta break time karena anaknya
menangis kehausan. Dia menantang peserta sekmen untuk menulis dengan menggunakan
tiga kata dalam waktu sepuluh menit. Kotak, jingga, dan pesona. Dari sebelas
orang peserta sekmen hanya satu orang yang belum menulis satu katapun. Hal
tersebut membuktikan kebolehan peserta sekmen dalam dunia kepenulisan. Namun, tidak
dapat dipungkiri ada penulis yang dapat mengeluarkan ide dalam keadaan terdesak
dan ada yang tidak. Hal tersebut dialami Qory sehingga dia tidak dapat
menuliskan satu katapun. “Alhamdulillah
hasilnya luar biasa.” Penuturan kak Siska setelah mendengarkan tulisan yang
ditulis paserta sekmen.
Diskusi
berlangsung lebih menarik setelah muncul pertayaan dari kak Nelly. “Saya pernah
mendengar dan membaca bahwa semakin sulit dipahami suatu karya yang kita buat
semakin bagus karya kita. Begitu juga dengan puisi. Benarkah pernyataan itu?”
“Baik
buruknya karya yang kita hasilkan itu tergantung dari pembaca. Setiap orang
memiliki pola pikir dan kecenderungan yang berbeda. Jika pembaca memiliki pola
pikir dan kecenderungan yang sama dengan penulis maka pembaca bisa mengatakan
karya kita bagus dan sebaliknya. Jadi, karya
yang kita hasilkan itu relatif. Tidak selalu benar jika karya tulis yang
sulit dipahami merupakan karya yang bagus. Terkadang memang bagus dan terkadang
biasa saja. Itu semua kembali pada sang penikmat karya kita.” Penjelasan
panjang lebar kak Siska membuat peserta Sekmen antusias.
“Lalu
bagaimana cara menulis artikel?” pertanyaan kak Riri menyita seluruh perhatian
peserta Sekmen.
“Dalam
menulis artikel kita dituntut untuk jujur. Selain itu, kita juga membutuhkan
pendapat-pendapat orang yang ahli di bidangnya untuk memperkuat argument yang
kita tulis.”
Setelah
menjawab semua pertanyaan peserta sekmen, kak Siska membagikan pengalamannya
ketika berdiskusi dengan Habiburrahman El Shirazy atau yang akrab dipanggil
Kang Abik. “Kang Abik pernah berkata, modal untuk menulis itu ada tiga. Pertama,
niat yang kuat untuk menjadi penulis dan menuliskan ide. Jika kita benar-benar
ingin jadi penulis harus mempunyai niat yang sungguh-sungguh, tulus, dan lurus.
Kedua, kesungguhan yang kuat. Kesungguhan yang kita miliki harus kuat dan
mengakar dalam diri kita sehingga tujuan kita untuk menjadi penulis yang propesional
dapat terwujud. Ketiga, lakukan aktivitas yang mendukung. Salah satunya dengan
bergabung dengan sekmen FLP Sumbar ini. Di sini kita bertemu orang-orang yang
mempunyai hobi yang sama yaitu menulis dan membaca.
Penuturan kak Siska tentang
pengalamannya dengan Kang Abik merupakan sesi terakhir diskusi sebelum Zuhur.
Setelah Zuhur diskusi dilanjutkan dengan Alizar Tanjung. Semangat menulis
peserta Sekmen dibakar habis-habisan oleh bang Ali..
“Terima kasih telah melakukan perjuangan untuk menjadi
penulis propesional. Dan terima kasih juga telah melakukan satu kali kerja
keras untuk mewujudkannya. Saya tekankan sekali lagi. Masih satu kali kerja
keras belum dua kali kerja keras.” Penuturan bang Ali membuat telinga peserta
sekmen memanas.
Bang Ali merasa belum puas dengan
kesungguhan peserta sekmen. Dari hasil tanya jawab dengan anggota sekmen, belum
satupun mengirimkan karya ke media. Kenyataan tersebut membuat kata-kata yang
dituturkannya semakin panas. “Menjadi penulis propesional harus siap dengan
tantangan zaman. Harus mampu menguasai teknologi dan informasi.” Bang Ali
menuturkan kunci utama dalam kepenulisan.
Puas dengan kata-katanya yang
membuat panas telinga peserta sekmen, bang Ali menanyakan keinginan peserta sekmen
ke depannya. Beberapa menit tak ada yang menjawab. Hal itu membuat bang Ali
kecewa. Melihat kekecewaan bang Ali, kak Riri mengacungkan tangan. Kak Riri
memberikan saran untuk membuat antologi karya peserta sekmen. Baik berupa
cerpen maupun puisi. Karena tidak ada yang memberikan saran lain maka saran kak
Riri disepakati.
Selesai mengambil kesepakatan, acara
sekmen dilanjutkan dengan bedah karya. Ruang lingkup yang dibedah adalah unsur
intrinsik dan ekstrinsik dalam sebuah karya. Hal itu dilakukan sampai pukul
empat sore. Peserta sekmen pulang dengan membawa karya yang telah dan akan
dibedah.
0 komentar:
Posting Komentar