Saya suka melihat anak muda mengarang. Saya suka jalan-jalan ke toko buku Gramedia. Hal yang saya lihat adalah biodata pengarangnya. Saya akan tersenyum menemukan kalau pengarangnya kelahiran 87, 88, 89, 90. Atau lebih muda dari itu. Kedatangan saya ke Gramedia tidaklah untuk membeli buku. Sekedar untuk melihat apa novel terbaru dan siapa pengarangnya.
Saya merasa sakit di dada saya setelah saya melihat terbitan novel terbaru. Novel mereka telah diterbitkan di usia belia. Novel Saya belum diterbitkan ketika saya sudah berusia seperempat abad. Hulu hati itu menyentak-nyentak saya, sebab itu saya tidak tahan berlama-lama ke toko buku.
Tetapi bukan persoalan toko buku yang ingin saya kupaskan. Persoalan pengarang muda, yang akan saya tuturkan. Tidak masalah pengarang muda itu pengarang populer atau pengarang sastra. Luapan kebahagiann saya ketika yang muda yang mengarang. Sebab itu semenjak tahun 2007 saya masuk FLP Sumbar, kesenangan hidup saya adalah mengangkatkan sekolah menulis, pelatihan, seminar kepenulisan.
Satu hal dalam pikiran saya. Saya ingin memberikan kepada kawan-kawan ilmu saya, tidak beretorika tetapi action. Banyak orang yang ingin mengarang tetapi tidak tahu apa wadahnya. Kadang tidak pede dengan karyanya. Dan Desi Soneta salah satu dari pengarang itu sendiri yang mendapatkan wadahnya. Desi Soneta, Mahasiswa IAIN IB Padang.
Membaca cerpen Desi, "Butiran Hidayah Mimpi Ayah", mengingatkan saya kepada awal saya menulis. Saya menulis berangkat dari tidak tahu ketika saya pertama kali membaca Layar Terkembang di pustaka MAN 2 Padang. Kalau Desi menulis mampu dengan lima halaman lebih ketika diminta untuk menulis, saya hanya mampu satu paragraf. Paling banyak tiga paragraf. Itu berlangsung selama berminggu-minggu.
Tulisan-tulisan yang saya tulis entah apa isinya. Membaca sekarang tulisan itu membuat saya tertawa. Saya ingin melihat betapa lugunya diri saya ketika menulis secara otodidak. Tidak mengenal wadah menulis. Bahkan tidak mengenal para penulis. Saya hanya tahu saya anak petani yang berkhayal menjadi penulis.
Semangat. Semangat yang saya simpan. Saya bisa menjadi pengarang. Semangat itulah yang saya warisi. Saya ingin mengatakan dalam tulisan ini, apakah Desi juga akan mewarisi semangat. Semangat yang lahir dari keinginan dasar dalam diri Desi. Apakah Desi semangat itu seperti dia bangun setiap paginya. Minum. Makan. Besok melakukan pekerjaan itu lagi. Besoknya lagi melakukan pekerjaan yang sama. Saya memikirkan pengarang itu seperti aktifitas makan.
Kenapa saya berkata persoalan semangat? Inilah soalnya. Saya membaca penggalan novel Desi. Penggalannya, "Hiruk pikuk suara nelayan di tepi pantai." Pengarang selalu mempunyai cara pandang yang berbeda. Kalau Desi menekuni dengan serius karya ini benar-benar menjadi karya besar.
Secara keseluruhan memang saya menemukan bahasa yang mendayu-dayu hampir merata dalam tulisan Desi dari awal sampai akhir. Sehingga desi ini sedang menceritakan, belum masuk sebagai pelaku cerita. Saya ingin mengatakan, "Agaknya rak Desi harus penuh dengan novel dan kliping-kliping koran." Saya tidak mengatakan Desi harus membeli banyak novel. Saya ingin mengatakan rak buku Desi harus penuh dengan novel. Atau lebih ringannya saya ingin mengatakan Desi menekuni membaca novel-novel berbagai genre. Tidak hanya genre Islami.
Penggalan yang saya baca di pukul 2 malam ini, penggalan yang membuat saya yakin, pengarangnya juga memiliki keyakinan dengan dirinya sendiri. Tinggal si pengarang merincikan persoalan detail cerita. Ayah, ibu, itu merupakan ruang lingkup yang luas yang dapat kita kerucutkan kepada bagian-bagian cerita yang lebih mendetail.
Cerita dibangun atas dasar persoalan. Kalau cerpen biasanya fokus kepada satu ide. Kalau novel biasanya memiliki sub-sub konflik kecil. Hal itu dapat dibangun dengan kelihaian pengarang untuk lebih mau berbagi kesusahan dengan karangan-karangannya.*
0 komentar:
Posting Komentar