Ditulis Oleh :Yons Achmad, Pada Tanggal : 13 - 12 - 2012 | 11:31:50
Penyair atau sastrawan selalu memiliki jalannya sendiri. Seringkali jalan yang diambil oleh para sastrawan ini sangat sulit dipahami oleh orang-orang awam. Orang-orang awam akan selalu melihat aneh, tidak wajar, tak lazim ketika menengok jalan hidup yang ditempuh para sastrawan ini. Kalau kita mau menengok akan banyak sekali contohnya, meski ada pula yang tetap ikut mainstream (arus utama) kehidupan normal. Para sastrawan ini adalah orang-orang yang memilih jalan sunyi di pojokan zamannya. Tidak hanya penyair dan sastrawan, jalan sunyi ini menjadi lazim bagi mereka yang memilih untuk menjadi penulis. Seperti orang ini yang akan bisa kita memetik inspirasi dan hikmah dari kehidupan yang ia tempuh.
Wajib Makan Bagi Tamu
“Ayo makan dulu sana, hari ini istriku masak enak loh”, dengan ramah pria kecil berambut jarang tersebut mempersilakan tamu-tamunya makan. Tak segan-segan pria ini menarik tamu yang malu-malu untuk menuju dapur, mengambil mkananya sendiri. Inilah adat kebiasaanya, selalu mengajak siapapun yang singgah ke rumahnya untuk makan. Baginya memuliakan tamu adalah kewajiban, dan menjamu makan adalah salah satu caranya menerjemahkannya. Laki-laki dengan dua anak ini tinggal di tepi sungai Bedog, di sebelah barat kota Jogja. Rumah sederhana yang hanya berdinding tembok tanpa plesteran menjadi tempat yang paling ramai dikunjungi orang di desa yang masih relatif sepi tersebut.
Rumah yang tidak terlalu besar terletak tepat di bawah pohon Munggur besar ditambah rumbunnya pohon lain menjadikanya sangat sejuk. Gemericik air sungai yang coklat kehitam-hitaman menambah suasana nyaman untuk berlama-lama di sana. Penghuni yang ramah, buku-buku di rak sepanjang sudut rumah menjadikan seperti di rumah sendiri. Laki-laki separo baya tersebut tak akan pernah kehabisan cerita untuk membetahkan tamu-tamunya duduk berlama-lama di ruang tengahnya. Suguhan berupa minum dan snack untuk para tamu pun mengalir seperti sungai yang tepat berada di samping bawah rumah itu.
Joni Ariadinata, dialah cerpenis, sastrawan sang empunya rumah di pinggir kali Bedog tersebut. Di rumah itu Joni tinggal bersama istri dan dua orang anak laki-lakinya. Hampir setiap hari ada saja orang-orang yang main berburu inspirasi ke tempat Joni. Joni selalu menyambut ramah tamu-tamunya, baik yang sudah dikenalnya maupun yang belum sama sekali bertemu bahkan sekedr bertegur sapa denganya. Joni menuturkan bahwa rumahnya selalu terbuka 24 jam untuk siapa saja yang ingin bertandang. Joni tidak menerima tamu hanya di saat ia tidak di rumah.
Karya-karya Joni Ariadinata beberapa tak lepas tentang penggabaran kehidupan keseharianya. Seperti cerpen ‘Lampor’ pemenang Cerpen Pilihan Kompas 1994 yang menjadi awal dari titik balik kesastrawananya. Lapor mengambil latar tempat di sebuah kampung di pinggir kali yang kumuh. Joni bisa dengan gamblang dan sangat kuat menggabarkan bagaimana kondisi dari kampung tersebut. Menurut Joni semua itu bisa ia ceritakan karena memang dia seorang pecinta kali. Sejak merantau ke Jogja Joni selalu memilih tempat tinggal di pinggir kali. Bahkan sampai ketika ia mampu membeli rumah, Joni tetap memilih pinggir kali sebagai tempat tinggalnya.
Keramahan Joni dalam memuliakan tamu sudah cukup terkenal dikalangan sahabat-sahabat dan para sastrawan lainnya. Sikapnya yang tidak membeda-bedakan tamu membuatnya mempunyai banyak kawan. Hampir semua kawanya sastrawan pernah bertandang ke rumahnya. Seperti D Zawawi Imron, Ahmad Thohari, Acep Zamzam Nur, Taufik Ismail dan banyak lagi kawannya yang selalu menyempatkan mampir ke rumah Joni bila ada acara di Jogja. Pak D panggilan akrab D Zawawi Imron pernah mengatakan bahwa ia selalu rindu dengan suasana rumah Joni. Begitu juga Kang Acep yang betah berlama-lama tidur bermalam di rumah sederhana pinggir kali Bedog tersebut.
Semua Bermula Dari Puasa Daud
Kebiasaan Joni lain yang mungkin jarang dilakukan oleh banyak penulis ketika ia memilih untuk lapar sehari dan kenyang sehari. Disela-sela makan tersebut Joni menceritakan awal mula ia memilih untuk melaksanakan puasa yang berat bagi banyak orang ini. Di tengah-tengah menunggui kami makan, ada seorang kawan yang bercelatuk, “ndak ikut makan mas”, tanyanya. Dengan ramah Joni menjawab bahwa ia sedang berpuasa. Kami menjadi semakin tergelitik, masak hari sabtu kok puasa. Ternyata setelah diselidik lebih dalam ternyata saat itu Joni sedang berpuasa Daud.
Joni memulai semua kehidupanya yang sekarang dengan berpuasa Daud. Ketika itu Joni masih menjadi seorang mahasiswa di salah satu universitas swasta terkenal di Jogja. Ketika itu Joni menceritakan bagaimana susahnya keadaan perekonomianya. Bahkan untuk sekedar menegakan tulang belakangnya Joni sempat menjadi penarik becak di Jogja. Di sela-sela itulah Joni sambil belajar merangkai kata-kata. Belajar untuk berproses, tajam melihat kehidupan sekitarnya, belajar merasakan dan menumpahkan semua yang ada dalam dirinya.
Ketika itu Joni diajak seorang kawanya untuk pergi mengikuti pengajian di sebuah pesantren terkenal di Jogja. “Malam itu, saya mendapat ijazah dari mbah yai untuk melakukan puasa sunnah Daud”, Joni mengenang malam bersejarahnya tersebut. Sejak menjalankan puasa Daud tersebut secara perlahan kehidupan Joni berubah. Mulai dari batinnya yang semakin tenang, karir kepenyairannya yang semakin cemerlang dan yang pasti ekonominya yang mulai tak tertatih-tatih.(Yons Achmad/Wasathon.com)
Penyair atau sastrawan selalu memiliki jalannya sendiri. Seringkali jalan yang diambil oleh para sastrawan ini sangat sulit dipahami oleh orang-orang awam. Orang-orang awam akan selalu melihat aneh, tidak wajar, tak lazim ketika menengok jalan hidup yang ditempuh para sastrawan ini. Kalau kita mau menengok akan banyak sekali contohnya, meski ada pula yang tetap ikut mainstream (arus utama) kehidupan normal. Para sastrawan ini adalah orang-orang yang memilih jalan sunyi di pojokan zamannya. Tidak hanya penyair dan sastrawan, jalan sunyi ini menjadi lazim bagi mereka yang memilih untuk menjadi penulis. Seperti orang ini yang akan bisa kita memetik inspirasi dan hikmah dari kehidupan yang ia tempuh.
Wajib Makan Bagi Tamu
“Ayo makan dulu sana, hari ini istriku masak enak loh”, dengan ramah pria kecil berambut jarang tersebut mempersilakan tamu-tamunya makan. Tak segan-segan pria ini menarik tamu yang malu-malu untuk menuju dapur, mengambil mkananya sendiri. Inilah adat kebiasaanya, selalu mengajak siapapun yang singgah ke rumahnya untuk makan. Baginya memuliakan tamu adalah kewajiban, dan menjamu makan adalah salah satu caranya menerjemahkannya. Laki-laki dengan dua anak ini tinggal di tepi sungai Bedog, di sebelah barat kota Jogja. Rumah sederhana yang hanya berdinding tembok tanpa plesteran menjadi tempat yang paling ramai dikunjungi orang di desa yang masih relatif sepi tersebut.
Rumah yang tidak terlalu besar terletak tepat di bawah pohon Munggur besar ditambah rumbunnya pohon lain menjadikanya sangat sejuk. Gemericik air sungai yang coklat kehitam-hitaman menambah suasana nyaman untuk berlama-lama di sana. Penghuni yang ramah, buku-buku di rak sepanjang sudut rumah menjadikan seperti di rumah sendiri. Laki-laki separo baya tersebut tak akan pernah kehabisan cerita untuk membetahkan tamu-tamunya duduk berlama-lama di ruang tengahnya. Suguhan berupa minum dan snack untuk para tamu pun mengalir seperti sungai yang tepat berada di samping bawah rumah itu.
Joni Ariadinata, dialah cerpenis, sastrawan sang empunya rumah di pinggir kali Bedog tersebut. Di rumah itu Joni tinggal bersama istri dan dua orang anak laki-lakinya. Hampir setiap hari ada saja orang-orang yang main berburu inspirasi ke tempat Joni. Joni selalu menyambut ramah tamu-tamunya, baik yang sudah dikenalnya maupun yang belum sama sekali bertemu bahkan sekedr bertegur sapa denganya. Joni menuturkan bahwa rumahnya selalu terbuka 24 jam untuk siapa saja yang ingin bertandang. Joni tidak menerima tamu hanya di saat ia tidak di rumah.
Karya-karya Joni Ariadinata beberapa tak lepas tentang penggabaran kehidupan keseharianya. Seperti cerpen ‘Lampor’ pemenang Cerpen Pilihan Kompas 1994 yang menjadi awal dari titik balik kesastrawananya. Lapor mengambil latar tempat di sebuah kampung di pinggir kali yang kumuh. Joni bisa dengan gamblang dan sangat kuat menggabarkan bagaimana kondisi dari kampung tersebut. Menurut Joni semua itu bisa ia ceritakan karena memang dia seorang pecinta kali. Sejak merantau ke Jogja Joni selalu memilih tempat tinggal di pinggir kali. Bahkan sampai ketika ia mampu membeli rumah, Joni tetap memilih pinggir kali sebagai tempat tinggalnya.
Keramahan Joni dalam memuliakan tamu sudah cukup terkenal dikalangan sahabat-sahabat dan para sastrawan lainnya. Sikapnya yang tidak membeda-bedakan tamu membuatnya mempunyai banyak kawan. Hampir semua kawanya sastrawan pernah bertandang ke rumahnya. Seperti D Zawawi Imron, Ahmad Thohari, Acep Zamzam Nur, Taufik Ismail dan banyak lagi kawannya yang selalu menyempatkan mampir ke rumah Joni bila ada acara di Jogja. Pak D panggilan akrab D Zawawi Imron pernah mengatakan bahwa ia selalu rindu dengan suasana rumah Joni. Begitu juga Kang Acep yang betah berlama-lama tidur bermalam di rumah sederhana pinggir kali Bedog tersebut.
Semua Bermula Dari Puasa Daud
Kebiasaan Joni lain yang mungkin jarang dilakukan oleh banyak penulis ketika ia memilih untuk lapar sehari dan kenyang sehari. Disela-sela makan tersebut Joni menceritakan awal mula ia memilih untuk melaksanakan puasa yang berat bagi banyak orang ini. Di tengah-tengah menunggui kami makan, ada seorang kawan yang bercelatuk, “ndak ikut makan mas”, tanyanya. Dengan ramah Joni menjawab bahwa ia sedang berpuasa. Kami menjadi semakin tergelitik, masak hari sabtu kok puasa. Ternyata setelah diselidik lebih dalam ternyata saat itu Joni sedang berpuasa Daud.
Joni memulai semua kehidupanya yang sekarang dengan berpuasa Daud. Ketika itu Joni masih menjadi seorang mahasiswa di salah satu universitas swasta terkenal di Jogja. Ketika itu Joni menceritakan bagaimana susahnya keadaan perekonomianya. Bahkan untuk sekedar menegakan tulang belakangnya Joni sempat menjadi penarik becak di Jogja. Di sela-sela itulah Joni sambil belajar merangkai kata-kata. Belajar untuk berproses, tajam melihat kehidupan sekitarnya, belajar merasakan dan menumpahkan semua yang ada dalam dirinya.
Ketika itu Joni diajak seorang kawanya untuk pergi mengikuti pengajian di sebuah pesantren terkenal di Jogja. “Malam itu, saya mendapat ijazah dari mbah yai untuk melakukan puasa sunnah Daud”, Joni mengenang malam bersejarahnya tersebut. Sejak menjalankan puasa Daud tersebut secara perlahan kehidupan Joni berubah. Mulai dari batinnya yang semakin tenang, karir kepenyairannya yang semakin cemerlang dan yang pasti ekonominya yang mulai tak tertatih-tatih.(Yons Achmad/Wasathon.com)
0 komentar:
Posting Komentar