Oleh Zelfeni Wimra
Perihal Semangat
Mengukur semangat
berkarya, Syahrazad, tokoh yang dikabarkan pencipta Kisah Seribu Satu Malam
yang terkenal itu, sering saya jadikan sosok pembanding.
Mengenang kisahnya,
adalah juga membayangkan seperti apa luka hati seorang Sultan Syahriar yang
mendapati istrinya berselingkuh dengan laki-laki lain. Hati dan harga dirinya
sebagai laki-laki sekaligus seorang raja luluh-lantak; remuk-redam. Hukuman
pancung pun dijatuhkan kepada isterinya. Kematian, menurutnya, layak didapatkan
perempuan itu sebagai akibat pengkhianatannya. Bahkan, pengkhianatan,
sebagaimana juga diyakini Sultan Syahriar, lebih kejam dari pembunuhan.
Sejak
peristiwa menyakitkan itu, Sultan Syahriar berganti-ganti mengawini perempuan.
Sehabis menikmati malam pertama, ia memerintahkan algojo istana memancung
perempuan yang telah dinikahinya itu menjelang siang terang-benderang. Sudah
tidak terhitung berapa perempuan yang dikawini Sultan selama semalam dan
dibunuh keesokan harinya.
Syahrazad, putri
seorang Menteri prihatin melihat ketakutan rakyat terhadap kelakuan Sultan. Ia
mengajukan diri untuk menjadi isteri berikutnya bagi Sultan yang ganas karena
kecewa terhadap perempuan. Semula, ayah Syahrazad menolak keinginan putrinya
yang nekad itu. Namun, karena Syahrazad pandai memberikan penjelasan pada sang
ayah, ia pun akhirnya diizinkan menjadi pengantin raja dengan risiko kehilangan
nyawa.
Setelah
malam pertama Sultan dengan Syahrazad berlalu, apa yang terjadi? Syahrazad
mengisahkan sebuah cerita kepada Sultan. Cerita pengantar tidur menjelang fajar
menyingsing. Sebab bila fajar menyingsing, Syahrazad, akan dipancung. Tetapi,
sebelum fajar menyingsing, Syahrazad menghentikan ceritanya yang belum selesai
dan ia berjanji akan melanjutkan sambungan cerita itu di malam berikutnya.
Demikianlah,
malam demi malam dilalui Syahrazad dengan mendongengkan cerita bersambung untuk
Sultan. Karena penasaran pada kelanjutan cerita Syahrazad, Sultan menunda
hukuman pancung baginya. Kisah ini berlangsung, konon, sampai seribu satu malam.
Kisah-kisah itu kemudian hari menjadi khazanah sastra klasik di Persia yang
paling popular di dunia: Kisah Seribu Satu Malam.
Cerita
yang disajikan selama seribu satu malam itu adalah hiburan bagi sang Sultan.
Akan tetapi, bagi seorang Syahrazad, si pengarang cerita, adalah pertarungan.
Sekali saja syahrazad kehilangan cerita yang menarik, maka akan hilang pula
kepalanya. Setiap cerita adalah upaya memperpanjang nyawa baginya. Mencipta;
berkarya bagi Syahrazad adalah masalah hidup atau mati.
Timbul Tanya bagi
saya: apakah para pekarya kita hari ini, di sini, selera berkarya mereka seperti
Syahrazad? Adakah spirit bercerita Syahrazad mewarnai semangat mencipta karya
sastra kita di Sumatra Barat? Jawaban sementaranya, dengan malas, mari kita
ucapkan serentak: Entahlah!
Perihal Kecenderungan
Tema dan Ragam Eksplorasi
Sahabat saya, seorang
penyair, yang tidak mau disebut namanya, ketika akan menulis puisi tentang
betapa perihnya luka menyayat jantungnya, barangkali juga seperti yang dialami
Sultan Syahriar, ia terlebih dahulu menyayat tangannya dengan silet. Seiring
darah mengalir di tangannya, ia pun mulai menulis bait-bait puisi. Ia
barangkali menganut keyakinan, daripada menyakiti orang lain, misalnya dengan
menjiplak puisi orang lain, masih lebih baik menyakiti diri sendiri. Mencari
puisi di urat nadi sendiri.
Sahabat saya ini
sebenarnya tengah mengingatkan saya tentang kekuatan makna yang diperas dari
sebuah peristiwa puisi. Ada perih yang secara empiris harus dialami sebelum
maknanya dapat dipetik atau disuling jadi puisi. Dari luka ke estetika. Dari
frustasi ke kontemplasi. Dari perih ke puisi. Dan seterusnya. Dan seterusnya.
Akan tetapi, saya
tidak akan melebarkan pembicaraan ke perihal bahagimana memproduksi estetika
puisi dari peristiwa kemanusiaan yang sarat makna itu. Saya hanya ingin
mendalami satu kata saja yang sangat sering muncul dalam puisi-puisi kita,
yakni “luka”. Semesta “luka” adalah “alam takambang”-nya puisi.
Sebentar, puisi yang
saya maksud bukan hanya puisi-puisi yang sudah dilabeli dengan sebutan angkatan
bagi penyairnya; angkatan 45 hingga angkatan 2000. Bukan pula puisi-puisi yang
telah terkumpul di buku-buku atau koran-koran. Puisi yang saya maksud adalah
setiap kata yang telah diasah mata maknanya. Sekalipun ia hanya muncul dalam
percakapan sehari-hari; berkelindan dalam rak-rak pustaka; dalam
pepatah-petitih seorang datuk; melintas di halaman website; di lirik lagu pop
daerah; di kardus barang impor; pada dinding bus kota; berkumandang melalui
pengeras suara masjid-masjid; atau dari mulut seorang bintang iklan layanan di
televisi.
Pengertian semacam ini
saya niatkan untuk memperkukuh bahwa di sini, di lingkaran budaya Minangkabau,
puisi adalah pusaka. Sungguh, jangan heran, puisi bertebaran di mana-mana.
Puisi berjumpalitan dari mata ke mata kita. Puisi diciptakan setiap saat. Tidak
ditentukan secara khusus siapa penciptanya. Siapa pun boleh dan bebas mencipta
makna. Pun tidak ditentukan temanya. Apa pun temanya, halal untuk diolah dan
dikonsumsi.
Tidak terkecuali
terhadap luka. Kebudayaan kita, dilihat dari satu aspek kata yang sering muncul
dalam bahasa lisan ataupun tulisan, rupanya, sangat akrab dengan luka; dengan
pedih; dengan sakit; dengan iba; dengan ratap; dengan galau. Lidah kita fasih
mengucapkannya. Simaklah dendang dan lagu-lagu kita: ratok padi ampo; galau
ati nan luko; rinai pambasuah luko; padiah diseso janji; dll. Jangankan terhadap
keindahan, terhadap pemberontakan, dengan luka pun kita mesra. Asal jangan
dipelesetkan, bahwa kreator kata-kata adalah para pedagang luka yang mengincar
luka hati masyarakatnya lalu menjualnya ke pasar setelah didaur ulang atau
dieksplorasi ke bentuk puisi/prosa.
Perihal Kesadaran
Pasar
Setelah punya semangat
dan menemukan ragam eksplorasi berkarya, apa lagi? Ini agak sensitif. Karya
diciptakan untuk apa? Kalau tidak untuk “dijual”, tolong tunjuki saya jawaban lain
dari pertanyan ini.
Kita sekarang di zaman
mesin. Mesin yang tidak pernah dihidupkan akan berkarat dan rusak. Mesin tidak
akan hidup kalau tidak ada bahan bakar. Bahan bakar adalah komoditas yang
diperjual-belikan. Kira-kira demikian analoginya. Bersitungkin di depan mesin
ketik bagi penulis, di depan kanvas bagi pelukis, menenteng kamera bagi
fotografer, di atas panggung bagi koreogrfer dan teaterawan, memakan bahan
bakar yang tidak sedikit. Biaya mencetak buku 500 eksamplar halaman 200-an bagi
penulis paling murah berkisar antara 4-5 juta.
Mestikah urusan ini
adalah semata tanggung jawab sarjana ekonomi atau para pebisnis kita semata?
Secara profesional, ini mungkin terjadi. Akan tetapi, berguru pada yang sudah,
memetik tuah pada yang menang, pasar itu sebuah kesadaran, sebuah iklim yang
dibangun. Kita semua bisa menganalisa, seperti apa kira-kira nasib karya
seni/sastra kita jika pasarnya belum terbentuk secara baik? Tolong sebutkan kurator
yang gigih mengurasi karya lukis dan fotografi kita? Kalangan mana yang
bermurah hati menjadi penyandang dana sebuah pertunjukan teater, tari atau
produksi film? Mana penerbit yang memperjuangkan penerbitan buku-buku sastra
kita? Intinya kita belum punya kesadaran pasar yang baik. Kita hanya punya
kesadaran politik yang baik. Sekalipun itu pun berada jauh di luar diri seorang
kreator.
Atau begini saja,
karena di ranah sendiri kita sering merasa menjadi tamu dan ketika melakukan
gerakan perubahan masih tersekat oleh hal-hal yang tidak perlu, marilah merantau,
menjarakkan badan dari kampung halaman. Corak migrasi klasik ini sepertinya
masih banyak dipilih. Ketimbang merasa jadi tamu di negeri sendiri lalu pada
akhirnya mati sebelum berkarya, kita tuntaskan cita-cita di rantau orang
seperti telah dicontohkan nenek-moyang kita dari zaman ke zaman. Namun, ini
pilihan, diasumsikan menjadi pilihan kreator yang kalah. Ada lantunan nada
pesimis di dalamnya. Yang paling dirindukan oleh masyarakat budaya kita hari
ini sesungguhhyna adalah: tagak kampuang, paga kampuang. Merantau fisik
sebagai satu-satunya pilihan sudah perlu ditinggalkan. Merantau kini,
merantaukan jiwa. Badan harus bertahan di kampung halaman. Dulu (zaman
kolonial) ada semboyan dalam memperjuangkan kemerdekaan di kampung halaman:
merdeka atau mati. Kini (pasca/postkolonial) kita ganti: berkarya atau mati![]
*Disampaikan pada
Padang Literary Biennale, 28 April 2012 dan pelatihan kepenulisan FLP Sumbar, 25 November 2012.
0 komentar:
Posting Komentar