Eksperimen-eksperimen sederhana. Demikian saya ingin menamakan tulisan pendek saya ini. Tulisan ini berhubungan dengan dunia kreatif menulis. Bukan hal tabu lagi kalau dikenal istilah sulit mencari ide. Padahal ide ada di sebelit pinggang.
Pada pertemuan ke-7, Minggu 13 Januari 2013, saya selaku penanggungjawab sekolah menulis FLP Sumbar sengaja mengundang dua penulis muda, Dodi Saputra yang tulisannya sudah terbit di Singgalang berupa mantagi dan di Lampung Pos berupa puisi sepanjang awal tahun 2013 ini. Penulis kedua Riyen Gusparta, penulis yang lebih banyak menggeluti dunia opini, yang tulisan-tulisannya banyak mengisi ruang di Singgalang.
Sebagai penulis, menurut Riyen, dia lebih banyak menulis hal-hal yang dekat dengan dirinya. Alasan ini dikemukakan sebab lebih menguasai materi. "Ketika saya mengajar anak TK, saya melihat anak-anak. Saya bisa dapat ide dari mereka," demikian tutur Riyen ketika mendapatkan pertanyaan apakah dia menulis seputar jurusannya waktu di kampus.
Ada banyak ide. Banyak ide yang bertebaran di mana-mana. Hal-hal kecil kalau diolah dengan baik akan tetap mendapatkan sajian yang menarik. Riyen Gusparta untuk menulis di koran Singgalang, membutuhkan waktu 6 bulan untuk bisa tampil pertama kalinya. Ketika dia sudah merasa tulisannya tidak akan terbit pada saat itulah tulisannya terbit.
Redaktur terkadang melihat seberapa sungguh-sungguh kita menulis. Sekali kirim tidak akan langsung diterbitkan. Redaktur melihat seberapa sering seseorang menulis dan seberapa jauh peningkatan karya-karyan dari minggu ke minggu. Hal ini juga terjadi dengan rekdaktur di Singgalang.
Sedangkan Dodi Saputra, lain pula dengan dirinya, dia mengirimkan tulisan setiap minggu sepanjang akhir tahun 2012 dan sepanjang awal tahun 2013. Kunci memang ketenangan dan kesabaran. Seberapa sabar penulis menghadapi dirinya sendiri dan menerima tantangan dari koran.
Cerita dua orang penulis muda mengingatkan saya kepada semangat yang hari ini dimiliki anggota sekmen. Saya melihat beberapa tulisan yang memang mengalami peningkatan mutu. Saya melihat pada Karya Dini Widya Herlinda pada puisi-puisinya. Begitu juga dengan puisi-puisi Rival. Sebagai pembaca puisi saya telah sedikit menikmati puisi-puisi mereka. Saya menamakannya sedikit, sebab yang sedikit itu bisa membuat saya sebagai pembaca bahagia.
Kebahagian itu disambut dengan puisi Fitrah. Ada yang menarik dari puisi Fitrah. Filosofis dari benda yang dia pakai sehagai jembatan penghubung puisinya. Saya melihat pada Kapas. Bapak-bapak Tak Berdasi. Mengilu. Mengilu menarik untuk dikunyah-kunyah. Mengilu itu pada batang lidi.
Ada banyak kehidupan yang seperti lidi. Ada banyak orang-oirang yang dimanfaatkan orang lain dan dibuang ketika tidak berguna lagi untuk dipakai. Begitu banyak lidi-lidi yang kini dicampakkan oleh perusahaan dan terbuangan sebagai gelandangan.
Ketika lidi itu ditanggalkan dari tulangnya dia telah terbuang dari kawan-kawannya dan disatukan kembali sebuah ikatan dan kemudian digunakan untuk menyapu. Tetapi setelah lidi itu rapuh dia akan dibuang begitu saja. Bukankah banyak hari ini mereka yang habis-habisan bekerja di perusahaan di waktu muda dan di PHK begitu saja ketika sudah tidak lagi mendatangkan manfaat bagi perusahaan. *rumahkayu, 2013
0 komentar:
Posting Komentar