Pages

Selasa, 25 Desember 2012

Proses Kreatif Bersama Papa Rusli Marzuki Saria


Oleh Alizar Tanjung
(Pertemuan V)

Para peserta Sekmen FLP Sumbar itu berkodak di depan kamera ponsel. Papa berdiri di paling tengah dengan topi hitam dan stelan baju dan celana hitamnya.

Begitulah suasana ending dari materi yang diberikan oleh Papa Rusli. Kami menamakannya bincang-bincang, berbagi cerita, tentang proses kreatif mengarang. Baik mengarang puisi, cerpen, novel.

"Pada awalnya dimulai dari kata," ujar Papa. Kita harus mengenali yang namanya kata. Sebab mengarang adalah merangkai kata-kata. Maka kenali kata, ujar papa kepada anggota Sekmen Minggu, (23/12).

Pertanyaan-pertanyaan bermunculan dari penulis. Diantara pertanyaan itu, bagaimana menulis puisi. Papa tidak langsung memberikan jawaban. Jawaban Papa melalui analogi.

Kalau memakai sebuah ponsel maka kita membutuhkan bateri. Supaya ponsel dapat hidup dengan baik makai harus di carger biar baterai memiliki daya untuk beraktifitas. Kalau baterai sudah penuh maka pakailah ponsel lagi. Kalau diisi juga dia ada kemunkinan akan suak.

Pengarang baterainya adalah otak. Dan otak itu harus diisi daya agar bisa jalan. Kalau daya sudah penuh dia akan meminta untuk dikeluarkan atau dipindahkan. "Pengarang harus banyak membaca," jawab Papa. Pengarang itu harus mengisi kepalanya dengan banyak bacaan, buku, koran, lingkungan di sekitarnya. Ditulis lingkungan sekitar.

Bagi penulis pemula sebagai proses mengasah diri sendiri, dapat menulis puisi sepuluh dalam satu hari. Setidak-tidaknya lima puisi. Pertanyaan menulis puisi ini dilontarkan oleh Hasneli. Para peserta yang hadir memang setiak kali pertemuan di wajibkan membawa karya. Tujuan dari membawa menurut panitia pelaksana adalah untuk melatih peserta sekolah menulis. Sehingga penulis membiasakan untuk terus berkarya. Ada atau tidak ada pendamping menulis tetap lanjut.

Diskusi Bersama Papa berlangsung sampai jam sebelas. Kemudian dilanjutkan dengan bedah karya dari masing-masing penulis. Baik puisi, cerpen, penggalan novel. Diantara novel yang sudah selesai itu dan dalam tahapan editan adalah novelnya Riza Alen, penulis yang berkegiatan di LSM.

Kegiatan Sekmen ini cukup mengundang selera diskusi anggota Sekmen. Diskusi yang ditargetkan selesai pukul 2 siang, ternyata baru bisa diakhiri pukul setengah empat. Kegiatan ditutup. Sekre kembali menanti dalam kesunyian untuk minggi berikutnya.** 

Rabu, 19 Desember 2012

Papa Rusli Marzuki Sari

Oleh Alizar Tanjung
H. Rusli Marzuki Saria yang akrab dipanggil “Papa” lahir di  Kamang, Bukittinggi 26 Februari 1936. Dia dibesarkan di tengah keluarga dan lingkungan pedesaan Minangkabau yang sarat dengan tradisi ajaran Islam. Nama belakangnya, Marzuki Saria berasal dari nama ayahnya, Marzuki. Papa, anak laki-laki satu-satunya dari 17 bersaudara. Rusli menamatkanSD di Lubuak Basilang, Payakumbuh setelah meninggalnya ibunda tercinta di tahun 1946. Pada tahun 1953 menamatkan SMP (sore) dan pada tahun yang sama ayahanda beliau meninggal. Pap menamatkan SMA bag. A pada 1957.
Pernikahan Papa dengan Haniza Musa, 4 Mei 1963, dikaruniai empat orang anak. Dua laki dan dua perempuan. Nama-nama anak Papa Fitri Erlin Denai (Padang, 23 Januari 1964), Vitalitas Fitra Sejati (Padang, 24 Januari 1966), Satyagraha (Kamang, 20 Juli 1968, dan Diogenes (Padang, 14 Mei 1970).
Sedangkan dunia kepenyairan papa sudah dirintis dari 1957. Karya-karya Papa sudah beredar semenjak 1957. Papa telah menulis di majalah Indonesia, Konfrontasi, Panji Masyarakat, Budaya Jaya, Mimbar, Basis, Horison, Majalah Zaman Baru, Aman Makmur, Respublika, Sinar Harapan, Suara Karya.
Papa telah menerbitkan buku sajak Pada Hari Ini, Pada Jantung Hati (Penerbit Genta Padang). Monumen Safari: Antologi Berempat (Penerbit Genta Padang, 1996), Ada Ratap, Ada Sunyi (Penerbit Puisi Indonesia, Jakarta, 1976), Tema-tema Kecil (Penerbit Puisi Indonesia, Jakarta, 1976), Sendiri-sendiri, Sebaris-sebaris, dan Sajak-sajak Bulan Pebruari (Penerbit Puisi Indonesia, Jakarta, 1976), Sembilu Darah (Lima kumpulan sajak, Dewan Kesenian Sumbar dan pustaka Sastra, Jakarta, 1996), Parewa: Sajak Dalam Lima Kumpulan (1960-1992) (Penerbit, Grasindo, 1998). Mangkutak di Negeri Prosa Liris (Penerbit, Grasindo, 2010).
Pada tahun 1953 dia diterima menjadi pegawai negeri sipil di kepolisian Sumatera Tengah di Bukittinggi. Rusli diangkat menjadi calon Clerk (juru tulis) golongan III A di kantor Koordinator Mobiele Brigade (Mobbrig) korsp 106 Sumatera Tengah. Pada tahun 1958 ketika terjadi pemberontakan PRRI (permesta Perang Revolusi Republik Indonesia-Perlawanan Rakyat Semesta), Rusli Marzuki Saria dipecat dari kepolisian karena terlibat daerah Sumatera Tengah. Sejak tahun 1962 bekerja sebagai tenaga tata usaha di koperasi Batik Fajar Putera sampai tahun 1969. 
Papa bergabung dengan Haluan semenjak 1969, barulah bulan Juli 1999 pensiun setelah 30 tahun berkarir sebagai wartawan. Mantan Redaktur Haluan yang sangat apresiatif terhadap para penyair-penyair muda ini telah mengunjungi manca Negara dengan profesi sebagai penyair dan wartawan. Dia telah mengunjungi Malaysia, Bangkok, Singapura, Australia (Townsvils, Cairs), Jerman Barat (Frankfurt, Koln, Munich, Berlin Barat, Hamburg). Menerima hadiah sastra 1997 dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, dengan kumpulan sajak Sembilu Darah. Mantan Agen Polisi Kepala (Brimob), Pernah menjabat sebagai anggota DPRD tingkat II Padang.*

Ketika Burung Memilih Hinggap dan Menetas

Oleh Alizar Tanjung
Motivasi Menulis

Add caption
Selama tanggal 16 sampai 20 Desember 2012, jari-jari tangan saya disibukkan oleh persoalan burung siang harinya. Burung yang terbang dengan murung. Burung yang terbang dengan riang. Burung yang terbang dengan air mata yang menetas. Saya menuliskannya bukan tanpa sadar. Saya menuliskannya dengan sadar. Persoalannya mengapa saya menuliskannya di FB, pertanyaan inilah yang mungkin tidak terjawab oleh saya.

Seorang adek berkomentar, status abang lain saja dari yang lain. Saya hanya bilang syukurlah kalau begitu. Sementara orang suka curhat dan membuat hal-hal tidak menentu di fb, tambahnya. Tidak sekali ini saya mendapatkan pujian dari seorang teman, karib, atau sahabat yang mengomentari status saya. Saya tidak bermaksud untuk meninggikan diri saya, saya hanya ingin berbagai kepada siapa yang berkenan mengutip atau membaca tulisan ini

Kamis, 13 Desember 2012

Lomba Cipta Puisi Nasional Komunitas KOPI ANDALAS

 Dedline 31 Desember 2012

Komunitas Kopi Andalas di Sumatera Barat dirintis oleh beberapa orang pengarang muda Sumbar, Alizar Tanjung, Mahatma Muhammad, Halvika Padma, Ismail Idola dan Yosefintia Sinta. Komunitas ini didirikan pada awal tahun 2012 dan lomba Komunitas Cipta Pusi KOPI Andalas ini merupakan gelombang pertama. Komunitas KOPI ANDALAS sendiri berdiri untuk mengakomadasi karya-karya pengarang Indonesia. Dalam rangka mengakamodir karya-karya pengarang Indonesia, kami mengadakan lomba Cipta Puisi tingkat Nasional.

Ketentuan Umum
1) Peserta berwarga Negara Indonesia dengan melampirkan Identitas Diri (SIM, KTP, Kartu Pelajar, dan lain-lain)
2) Tidak ada batas usia.
3) Tema Puisi bebas.
4) Naskah puisi ditulis dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
5) Karya yang diikutkan lomba belum pernah dipublikasikan di media cetak, online dan tidak sedang diikutsertakan dalam lomba yang sejenis.
6) Diharuskan bergabung di grup Komunitas Kopi Andalas.
7) Peserta lomba Mengcopy paste pengumuman ini ke dalam catatan facebook dan menandai minimal 20 orang.
8) Melampirkan Biografi singkat Penulis dan nomor kontak di halaman terpisah dari naskah puisi.
9) Biaya pendaftaran Rp. 10.000,- untuk satu judul puisi. Peserta boleh mengirimkan puisi maksimal 10 judul.
10) Naskah puisi ditulis dengan kertas A4 dengan Font Times New Roman 12.
11) Puisi dikirim ke email andalaskopi@gmail.com dengan nama file KOPI ANDALAS_NAMA PENULIS, dan melampirkan scan Foto copy identitas diri dan scan bukti sudah membayar pendaftaran.
13) Uang Pendaftaran dikirim ke rekening BNI : 0153881197 atas nama Yosefintia Sinta.
14) Penerimaan karya paling lambat hingga 31 Desember 2012 pukul 24.00.
15) Seratus puisi terbaik hasil penilaian dewan juri akan dibukukan dalam bentuk antologi
17) Pengumuman pemenang akan diumumkan 31 Januari 2013 pukul 24.00
18) Penilaian karya sepenuhnya diserahkan kepada dewan juri Sastrawan Senior (Nama dewan juri akan diumumkan bersamaan dengan pengumuman pemenang).
19) Karya yang tidak memenuhi kriteria tidak diikutkan dalam penjurian.

Hadiah
1) Terbaik I : Tabungan Rp. 1.500.000,- +sertifikat+ 2 eks buku antologi
2) Terbaik II : Tabungan Rp. 500.000,- +sertifikat+ 2 eks buku antologi
3) Terbaik III : Tabungan Rp. 500.000,- +sertifikat+ 2 eks buku antologi


Hal-Hal yang belum jelas dapat ditanyakan dengan kontak Facebook panitia melalui :

Alizar Tanjung (085278970960)
Mahatma Muhammad (087839289363)
Halvika Padma (083181565044)
Ismail Idola (085766442577)
Yosefintia Sinta (085658437900)

Menulis Hal-hal Dekat

Oleh Alizar Tanjung
Hari ini, Kamis, 13 Desember 2012, saya baru saja mendapatkan Chatting dari Azizur Rahmi, Mahasiswa Stain Bukittinggi. "Ajari saya menulis". Pertanyaan ini bentuknya sederhana bahkan lebih sederhana dan terkesan lagi apabila munculnya di grup sosial facebook.

Sebelumnya saya juga membaca comen comen dari Qorina (Iiy). "Kata seorang teman bahkan dunia maya lebih real." Dan pertanyaan yang sama juga muncul dari Qorina. "Bang saya ingin menulis, bimbang mau menulis diaery atau cerpen." Pertanyaan ini dimunculkan beberapa hari yang lalu lewat chatting di facebook.

Pertanyaan-pertanyaan ini rata-rata hampir bermunculan dari orang-orang pemula yang ingin menulis. Beberapa teman yang baru mulai menulis puisi juga bertanya kepada saya. Sebut saja Irfan Nugroho, adik saya di Purwkerto, kemudian Muhammad Iqbal, kenalan di Padang. Beberapa puisi telah dia layangkan ke email dan inbox saya untuk saya tulis.

Persoalannya juga sama. Ajari saya menulis.  Secara khusus memang sudah untuk dikatakan bagaimana cara mengajarkan menulis. Sebab menulis tidaklah seperti mengajarkan cara membuat huruf a. Menulis lebih seperti cara mengajarkan bagaimana cara membuat akar dari tiada menjadi ada.

Pertanyaan ini saya aku berat. Bahkan berat untuk mereka yang pemalas membaca, pemalas menguji, pemalas mencoba-coba. Cukup berat bagi mereka yang mempunyai kebiasaan ini. Menulis erat hubungannya dengan membaca, berat hubungannya dengan praktek, bahkan dengan flm seperti telunjuk dan jari tengah.

Kalau begitu bagaimana cara mengajari menulis. Hal yang bisa dilakukan adalah membimbing mereka yang berkeinginan menulis. Bagaimana mungkin tulisan itu akan menjadi tulisan, sedangkan orang yang berkeinginan itu sendiri tidak mau menekan tombol keyboard, tidak berkehendak hati untuk menekankan ujung penanya di kertas.

Kalau bagian ini sudah dapat dilewati. Saya sering mendapatkan curhatan lepas dari kawan-kawan tentang menulis. Tulislah hal-hal sekitar, hal-hal dekat, hal-hal yang menjadi kebiasaan sehari-hari. Bukan pernyataan dari penulis pemula, pernyataan ini telah keluar dari penulis-penulis besar seperti Zelfeni Wimra, Ragdi F Daye, Elly Delfia pengarang Musim Manggaro.

Kalau menulis memang mampu difokuskan kepada hal-hal yang dekat. Hal-hal yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari mengapa tidak menulis yang demikian. Bahkan menulis hal-hal yang dekat itu adalah pustaka yang amat besar. Pustaka yang belum akan habis-habis sampai tua kalau terus digali.

Membiasakan menulis dengan hal-hal yang dekat setiap hari. Ya menggarisbawahi setiap hari, akan mengasah kemampuan penulis pemula untuk melebihnajamkan analisa. Banyak penulis besar berhasil menulis karena dia mengenali hal-hal dekat dengan dirinya.

Cerpen-cerpen yang ditulis Ragdi F Daye pada Perempuang Bawang dan Lelaki Kayu, cerpen-cerpen yang banyak bercerita tentang Solok dan Padang. Solok adalah tanah kelahiran Ragdi F Daye sendiri. Sedangkan Padang-adalah negeri rantauannya lelaki yang bernama asli Ade Efdira.

Sedangkan saya sendiri juga melakukan hal yang sama. Cerpen-cerpen saya banyak yang bersetting Karangsadah, kampung kelahiran saya sendiri. Tidak asing kalau ditemukan Gunung Talanng, Danau Bawah, Garogok, Kampungdalam, dalam cerpen-cerpen saya. *rumahkayu, 2012

Rabu, 12 Desember 2012

Joni Ariadinata: Sastrawan Pelaku Puasa Daud

Ditulis Oleh :Yons Achmad, Pada Tanggal : 13 - 12 - 2012 | 11:31:50

Penyair atau sastrawan selalu memiliki jalannya sendiri. Seringkali jalan yang diambil oleh para sastrawan ini sangat sulit dipahami oleh orang-orang awam. Orang-orang awam akan selalu melihat aneh, tidak wajar, tak lazim ketika menengok jalan hidup yang ditempuh para sastrawan ini. Kalau kita mau menengok akan banyak sekali contohnya, meski ada pula yang tetap ikut mainstream (arus utama) kehidupan normal. Para sastrawan ini adalah orang-orang yang memilih jalan sunyi di pojokan zamannya. Tidak hanya penyair dan sastrawan, jalan sunyi ini menjadi lazim bagi mereka yang memilih untuk menjadi penulis. Seperti orang ini yang akan bisa kita memetik inspirasi dan hikmah dari kehidupan yang ia tempuh.

Wajib Makan Bagi Tamu

“Ayo makan dulu sana, hari ini istriku masak enak loh”, dengan ramah pria kecil berambut jarang tersebut mempersilakan tamu-tamunya makan. Tak segan-segan pria ini menarik tamu yang malu-malu untuk menuju dapur, mengambil mkananya sendiri. Inilah adat kebiasaanya, selalu mengajak siapapun yang singgah ke rumahnya untuk makan. Baginya memuliakan tamu adalah kewajiban, dan menjamu makan adalah salah satu caranya menerjemahkannya. Laki-laki dengan dua anak ini tinggal di tepi sungai Bedog, di sebelah barat kota Jogja. Rumah sederhana yang hanya berdinding tembok tanpa plesteran menjadi tempat yang paling ramai dikunjungi orang di desa yang masih relatif sepi tersebut.

Rumah yang tidak terlalu besar terletak tepat di bawah pohon Munggur besar ditambah rumbunnya pohon lain menjadikanya sangat sejuk. Gemericik air sungai yang coklat kehitam-hitaman menambah suasana nyaman untuk berlama-lama di sana. Penghuni yang ramah, buku-buku di rak sepanjang sudut rumah menjadikan seperti di rumah sendiri. Laki-laki separo baya tersebut tak akan pernah kehabisan cerita untuk membetahkan tamu-tamunya duduk berlama-lama di ruang tengahnya. Suguhan berupa minum dan snack untuk para tamu pun mengalir seperti sungai yang tepat berada di samping bawah rumah itu.

Joni Ariadinata, dialah cerpenis, sastrawan sang empunya rumah di pinggir kali Bedog tersebut. Di rumah itu Joni tinggal bersama istri dan dua orang anak laki-lakinya. Hampir setiap hari ada saja orang-orang yang main berburu inspirasi ke tempat Joni. Joni selalu menyambut ramah tamu-tamunya, baik yang sudah dikenalnya maupun yang belum sama sekali bertemu bahkan sekedr bertegur sapa denganya. Joni menuturkan bahwa rumahnya selalu terbuka 24 jam untuk siapa saja yang ingin bertandang. Joni tidak menerima tamu hanya di saat ia tidak di rumah.

Karya-karya Joni Ariadinata beberapa tak lepas tentang penggabaran kehidupan keseharianya. Seperti cerpen ‘Lampor’ pemenang Cerpen Pilihan Kompas 1994 yang menjadi awal dari titik balik kesastrawananya. Lapor mengambil latar tempat di sebuah kampung di pinggir kali yang kumuh. Joni bisa dengan gamblang dan sangat kuat menggabarkan bagaimana kondisi dari kampung tersebut. Menurut Joni semua itu bisa ia ceritakan karena memang dia seorang pecinta kali. Sejak merantau ke Jogja Joni selalu memilih tempat tinggal di pinggir kali. Bahkan sampai ketika ia mampu membeli rumah, Joni tetap memilih pinggir kali sebagai tempat tinggalnya.

Keramahan Joni dalam memuliakan tamu sudah cukup terkenal dikalangan sahabat-sahabat dan para sastrawan lainnya. Sikapnya yang tidak membeda-bedakan tamu membuatnya mempunyai banyak kawan. Hampir semua kawanya sastrawan pernah bertandang ke rumahnya. Seperti D Zawawi Imron, Ahmad Thohari, Acep Zamzam Nur, Taufik Ismail dan banyak lagi kawannya yang selalu menyempatkan mampir ke rumah Joni bila ada acara di Jogja. Pak D panggilan akrab D Zawawi Imron pernah mengatakan bahwa ia selalu rindu dengan suasana rumah Joni. Begitu juga Kang Acep yang betah berlama-lama tidur bermalam di rumah sederhana pinggir kali Bedog tersebut.

Semua Bermula Dari Puasa Daud

Kebiasaan Joni lain yang mungkin jarang dilakukan oleh banyak penulis ketika ia memilih untuk lapar sehari dan kenyang sehari. Disela-sela makan tersebut Joni menceritakan awal mula ia memilih untuk melaksanakan puasa yang berat bagi banyak orang ini. Di tengah-tengah menunggui kami makan, ada seorang kawan yang bercelatuk, “ndak ikut makan mas”, tanyanya. Dengan ramah Joni menjawab bahwa ia sedang berpuasa. Kami menjadi semakin tergelitik, masak hari sabtu kok puasa. Ternyata setelah diselidik lebih dalam ternyata saat itu Joni sedang berpuasa Daud.

Joni memulai semua kehidupanya yang sekarang dengan berpuasa Daud. Ketika itu Joni masih menjadi seorang mahasiswa di salah satu universitas swasta terkenal di Jogja. Ketika itu Joni menceritakan bagaimana susahnya keadaan perekonomianya. Bahkan untuk sekedar menegakan tulang belakangnya Joni sempat menjadi penarik becak di Jogja. Di sela-sela itulah Joni sambil belajar merangkai kata-kata. Belajar untuk berproses, tajam melihat kehidupan sekitarnya, belajar merasakan dan menumpahkan semua yang ada dalam dirinya.

Ketika itu Joni diajak seorang kawanya untuk pergi mengikuti pengajian di sebuah pesantren terkenal di Jogja. “Malam itu, saya mendapat ijazah dari mbah yai untuk melakukan puasa sunnah Daud”, Joni mengenang malam bersejarahnya tersebut. Sejak menjalankan puasa Daud tersebut secara perlahan kehidupan Joni berubah. Mulai dari batinnya yang semakin tenang, karir kepenyairannya yang semakin cemerlang dan yang pasti ekonominya yang mulai tak tertatih-tatih.(Yons Achmad/Wasathon.com)

Selasa, 04 Desember 2012

Ade Efdira (Ragdi F Daye)

Ade Efdira
Lahir 11 September 1981 (umur 31)Solok, Sumatera Barat, Indonesia
Nama pena/samaran Ragdi F. Daye
Pekerjaan Novelis, Guru
Kebangsaan Indonesia
Aliran Sastra Sastra
Angkatan Forum Lingkar Pena Sumbar dan Komunitas Ilalang Senja
Karya terkenal Rahim yang Mengalirkan Sungai-sungai ke Laut
Istri/Suami Rina Andria

Situs resmi
Ragdi F. Daye (lahir di Solok, Sumatera Barat, 11 September 1981; umur 31 tahun). Ragdi merupakan nama pena dari Ade Efdira, lulusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang. Sekarang, beliau aktif di Forum Lingkar Pena Provinsi Sumbar dan Komunitas Ilalang Senja.

Biografi dan Karier

Tidak banyak penulis di ranah Minangkabau yang bisa mengguncang dunia kepenulisan serta kesastrawanan nasional. Tentunya, hal ini punya sejarah panjangnya sendiri. Ragdi atau saya biasa memanggilnya bang Ade, punya segudang pengalaman dalam hal tulis-menulis. Proses kreatifnya sudah ia mulai ketika ia menjuarai Lomba Menulis Cerpen tingkat Nasional yang diselenggarakan oleh Majalah Annida pada tahun 1999. Ketika itu, bang Ade mendapatkan juara II. Walaupun hanya di peringkat kedua, hal itu tidak menyurutkan semangat Ade Efdira. Ia terus menulis, dalam kelengangan Bukit Karamuntiang ia terus berkarya.

Tentu saja, ketika menapaki suatu jalan, akan banyak kita temui peristiwa-peristiwa mengejutkan. Tak terkecuali sesosok Ade Efdira. Ketika masih kuliah (berdasarkan apa yang bang Ade ceritakan kepada saya), ia sering mendapatkan cemoohan dari kawan-kawan satu profesi yaitu mahasiswa. Memang, cemoohan itu tidak ia dapat persis di depan ujung hidungnya, melainkan ia dengar dari desas desus yang beredar. Dikatakannyalah bang Ade tidak idealis, tidak setia kawan yang tentu saja harus disikapi secara arif oleh bang Ade sendiri.

Prestasi

  • Juara II Lomba Menulis Cerita Pendek Islami (LMCPI) IV Annida, 1999
  • 3 Terbaik Lomba Penulisan Cerpen Gravitasi II Sastra Unand, 2001
  • Juara III Sayembara Penulisan Puisi Dewan Kesenian Sumatera Barat, 2005
  • Juara III Lomba Penulisan Cerpen Yasmin Akbar Sastra Unand, 2005
  • Juara Harapan I Lomba Puisi Online V tingkat Sumatera, 2005
  • Puisinya masuk dalam antologi puisi Sumbar 2005 Dua Episode Pacar Merah
  • Aktif menulis di berbagai media massa Sumbar

Jangan Tanyakan Pada Kami



JANGAN TANYAKAN PADA KAMI

Jangan tanyakan kepada kami
Tentang kemajuan teknologi
Karena kami tidak tahu apa itu teknologi
Jangan ajarkan kepada kami
Tentang kebenaran mutlak matematika
Karena kebenaran bagi kami
Hanyalah sepanjang kami tidak masuk dalam jeruji besi
Jangan didik kami menjadi orang besar
Karena kami telah lama ditempa menjadi orang kecil
Jangan bicarakan tentang pemimpin negeri ini kepada kami
Karena kami tidak tahu siapa pemimpin negeri ini

Jangan salahkan kami atas ketidaktahuan kami ini
Karena kami terlahir di negeri yang tidak mengenal apa dan siapa
Kami terlahir di negeri yang terpinggirkan
Negeri yang seakan tidak punya tuan

Padang, November 2012

IMAJINASI YANG TERBUNGKAM

Ingin menoreh cerita sebagai kenangan
Menuangkan semua imajinasi
yang selalu menari-menari dalam benakku
Bermekaran bak cendawan tumbuh
Namun semua terkungkung oleh kosa kata
yang sederhana

Antara pikiran dan tangan sulit disatukan
Bisa bercerita panjang lebar
Tapi tak bisa mengungkapkan lewat tulisan
Semua begitu sulit untuk dijabarkan
Kosa kata ku begitu sederhana
untuk ku sampaikan
Tentang kenangan dan imajinasiku
Pada semuanya

Padang, 2012


Yelli Marselina



Biodata: Nama Yelli Marselina, akrab dipanggil Yelli. Lahir di Koto Kabun, 5 Juni 1991. Alamat Balai Selasa, kecamatan Ranah Pesisir, Kabupaten Pesisir Selatan. Kampus STKIP PGRI SUMBAR, jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia semester V. No HP 087895277973